PENJELASAN TENTANG BUDAYA SARUNG DI INDONESIA
Sarung
Sebagai Simbol Kekayaan Budaya Asia dari Masa ke Masa
Lebih dari sekadar tampilan tenunan indah dari tradisi dan
budaya Asia yang kaya, sarung telah digunakan dari waktu ke waktu sebagai alat
untuk mengendalikan komunitas etnis dan menantang sistem yang menindas.
"Sarung, secara lentur didefinisikan sebagai sepotong
kain panjang yang melilit tubuh, merupakan salah satu pakaian tertua yang
digunakan di seluruh Nusantara dan kawasan Asia secara luas,"
Sarung diyakini sebagai jenis kain tenun pertama yang
digunakan oleh pria dan wanita di wilayah Melayu, Sumatera dan Jawa, yang terus
berkembang hingga ke seluruh daratan Asia.
"Kain diikat di pinggul atau di bawah lengan dengan
membawa kedua ujungnya ke tengah atau menariknya ke tengah,"
Pada era
modern, variasi sarung berkembang di seluruh Asia, sebagian Afrika, dan
Semenanjung Arab.
Sarung di
negara-negara Mekong, di mana tenun tekstil merupakan bagian penting dari
budaya lokal, melilitkan kain yang belum dipotong di sekitar tubuh dapat
ditelusuri kembali ke zaman kuno.
Sarung
dengan cepat menjadi jenis busana yang digandrungi penduduk Asia, karena sarung
memungkinkan udara bersirkulasi ke seluruh tubuh, menjaga pemakainya tetap
sejuk di iklim panas dan lembab.
"Mudah
dilipat dan disimpan, keserbagunaan sarung terlihat di mana-mana di seluruh
lanskap Asia Tenggara," terusnya.
Tersampir di
bahu, kain persegi panjang yang bisa menahan bayi saat sedang tidur, serta
dapat melindungi pemakainya dari terik matahari saat ditangkup di atas kepala
atau disampirkan di bahu.
Sarung
menemukan jalannya ke kepulauan Indonesia melalui pelaut sekaligus pedagang
Arab dan India, yang menetap, menciptakan pemukiman di dekat Sumatera dan
pulau-pulau Jawa.
Setelah berangsur-angsur lamanya, saat ini, banyak pria
Muslim di wilayah Asia Tenggara lebih populer dalam mengenakan sarung
-terkadang bermotif kotak-kotak ke masjid untuk menunaikan shalat.
Bentuk dan corak sarung banyak bercerita tentang pemakainya
atau komunitas asalnya. Sarung dapat mengungkapkan kelas sosial atau suku mana
seseorang berasal, serta tingkat formalitas suatu acara.
Seperti halnya Orang Melayu, mereka memesan songket—sejenis
sarung khusus yang disulam dengan benang emas dan perak—untuk upacara khusus
seperti pernikahan.
Dijunjung tinggi oleh masyarakat asli di Asia Tenggara,
sarung kehilangan banyak kehormatan dan kemuliaan selama berlangsungnya periode
kolonial.
Administrator kolonial memandang rendah pakaian lokal
sebagai inferior dan primitif, kemudian memaksakan aturan berpakaian kaum
terjajah untuk lebih menegakkan hegemoni budaya kolonial.
Contoh yang paling mudah dijumpai, pada tahun 1872, Belanda
memperkenalkan undang-undang di Hindia-Belanda yang mewajibkan setiap orang
untuk mengenakan pakaian bangsa Eropa di tempat umum.
Wanita Belanda dan Eurasia juga dilarang mengenakan sarung
di depan umum, karena menyiratkan bahwa mereka telah menjadi pribumi, yang
cenderung rendah dan primitif.
Meskipun sebagian besar orang Belanda menganggap sarung itu
terbelakang dan merendahkan, beberapa wanita Belanda masih saja memakainya di
rumah. Bagaimanapun, sarung memberi kemudahan dalam bergerak dan kesesuaiannya
dengan iklim tropis.
Namun, para wanita Eropa tetap berupaya membedakan diri
mereka dari wanita pribumi dengan membuat sarung mereka sendiri, dengan desain
batik yang dipengaruhi gaya Eropa dan kainnya yang terkesan mewah.
Sarung yang dipengaruhi Eropa ini sangat diminati sebagai
barang eksotik sehingga bahkan diekspor dan dijual di kota metropolitan
kolonial, terutama pada masa-masa awal penjajahan.
Komentar
Posting Komentar